.
Patmamedia.com (SLEMAN) – Plt. Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman, didampingi oleh Kepala Bidang Penyuluhan, Kepala BP4 Wilayah V, serta Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Candibinangun, mengunjungi petani cabai merah keriting (CMK) di Samberembe Wetan, Candibinangun, Pakem, Jumat (4/10/2024).
Sugeng mengungkapkan harga CMK di pasar lelang pada Kamis (3/10/2024) hanya mencapai Rp6.009 per kilogram, jauh di bawah biaya produksi. Meskipun harga rendah, para petani tetap melakukan perawatan dan pemeliharaan tanaman.
"Saya banyak menggunakan pupuk organik dan agensia hayati sehingga biaya bisa ditekan," ujar Sugeng. Suparmono, mengapresiasi teknologi budidaya ramah lingkungan yang diterapkan Sugeng, yang dinilai mampu menekan biaya produksi.
"Tahun 2023, Dinas Pertanian Sleman telah menerbitkan SOP Budidaya Cabai Sehat Ramah Lingkungan. Selain untuk meningkatkan adaptasi terhadap perubahan iklim, menjaga kualitas produk, tujuannya juga untuk meningkatkan keuntungan petani," jelas Suparmono.
Menanggapi rendahnya harga CMK saat ini, Suparmono menjelaskan bahwa hal tersebut sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Berdasarkan data dari situs statistik hortikultura (sipedas.pertanian.go.id), produksi cabai merah keriting dari daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh terpantau cukup tinggi.
Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman memprediksi harga cabai akan mulai meningkat pada awal November, dan diperkirakan akan terus naik pada bulan Desember, terutama untuk CMK dan cabai rawit. Pihaknya tetap optimistis target Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator kesejahteraan petani akan tercapai.
NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani, dinyatakan dalam bentuk persentase. NTP > 100 menunjukkan petani mengalami surplus, NTP = 100 berarti impas, dan NTP < 100 menandakan petani mengalami defisit. "Dua tahun berturut-turut, sektor hortikultura menyumbang NTP tertinggi dibandingkan dengan subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, maupun perikanan, yakni 115,14 pada 2022 dan meningkat menjadi 121,07 pada 2023," terang lelaki yang akrab disapa "Pak Pram".
Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mencatat pada September 2024, Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami deflasi sebesar 0,10% secara bulanan (month-to-month/mtm), yang merupakan deflasi kelima sepanjang 2024. Terkait hal ini, Suparmono berharap penurunan daya beli dan pelemahan ekonomi tidak akan berdampak signifikan pada NTP di Sleman.
"Kami akan mendorong agar margin keuntungan petani meningkat, sehingga selisih antara biaya produksi dan harga jual dapat menghasilkan keuntungan yang optimal," pungkas Suparmono.