.
Afif Syakur di rumah yang sekaligus jadi galeri batiknya. (PM-Ramli DZ)
TIDAK ada kesuksesan yang datang secara instan. Semua mesti melewati proses yang berliku. Tak jarang disertai serangkaian peristiwa, yang kini menjadi cerita menarik untuk dikenang.
Hal itu juga dialami Afif Syakur, seniman dan juragan batik, sekaligus kolektor batik lawas, di samping aktivis organisasi yang berorientasi dalam pelestarian dan pengembangan batik. Bagi pria kelahiran Pekalongan, 2 Desember 1965 ini, batik merupakan bagian terpenting dalam kehidupannya.
Afif memang terlahir dari keluarga saudagar batik di Pekalongan. Ayahnya, H Syakur Nawawi adalah generasi ketiga dari keluarga pengusaha batik. Afif sendiri adalah putra keenam dari tujuh bersaudara. Di antara enam saudaranya yang lain, tampaknya hanya Afif yang benar-benar menekuni batik sedari kecil hingga sekarang.
Kakak-kakaknya lebih memilih jalan hidup lain. Ada yang menjadi duta besar, juga kerja kantoran. Hanya ada satu kakak perempuan yang menjadi pedagang batik, namun tidak seintens yang Afif lakukan.
Alhasil, Afif Syakur merupakan generasi keempat dari keluarga saudagar batik yang diawali oleh kakek buyutnya, H Kartubi. Dari H Kartubi terwariskan ke H Nawawi dan dari H Nawawi menurun ke H Syakur dan kini ke Afif Syakur.
Seperti pada umumnya keluarga saudagar batik, sejak kecil Afif sudah diajarkan tata cara memproduksi batik. "Sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar saya sudah diperintahkan untuk terlibat dalam proses membatik. Diawali dengan meneliti kalau ada kain batik yang tetes, mleber atau cacat," ungkap Afif saat ditemui di kediamannya, Jalan Pandega Marta 37A Pogung, Yogyakarta.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya sejak masuk SMP, Afif mulai dilibatkan untuk membantu para pembatik. Diberi kepercayaan dalam menangani hal yang lebih rumit. "Saya mulai belajar tentang durasi waktu yang diperlukan untuk menghasilkan satu kain batik, biaya produksi, gaji pegawai, hingga membuatkan racikan komposisi warna yang dibutuhkan untuk selembar kain batik," ungkapnya.
Tahap selanjutnya, ketika masuk SMA, tanggung jawab yang lebih besar pun diberikan. Oleh ayahnya Afif diberi kepercayaan untuk menangani nota penjualan, pengiriman barang, sampai bertemu pelanggan. Semua perintah yang notabene adalah ilmu yang ditularkan secara tidak langsung ini dikerjakan dengan senang hati oleh Afif.
Lulus SMA, Afif melanjutkan kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dari sinilah proses perjuangan Afif sebagai pengusaha batik dimulai. Seperti kebanyakan anak saudagar batik Pekalongan, setiap berangkat ke Yogya, Afif selalu dibekali sejumlah kain batik sebagai tentengan untuk dijual. Hasil penjualan untuk biaya kuliah atau mencukupi kebutuhan hidup selama di perantauan. "Saya menawarkan batik dari toko ke toko. Juga banyak konsultasi dengan para tokoh batik di Yogya," kenangnya.
Mungkin karena jiwa dagang yang tertanam sejak kecil, usaha Afif bisa dibilang sangat lancar. Dari perkenalannya dengan sejumlah tokoh batik di Yogya pula yang menumbuhkan gagasan untuk mengangkat batik menjadi produk fashion. Dari yang semula merupakan mass product menjadi private order yang lebih eksklusif.
Afif juga semakin meyakini jika batik bukan sekadar barang dagangan. Melainkan juga salah satu produk karya seni yang sarat simbol. "Mungkin karena saya kuliah di filsafat, meskipun tidak sampai rampung, saya lebih cepat memahami filosofi yang terkandung dalam motif batik," kata Afif.
Keasyikan Afif dalam menggeluti batik membuatnya tak punya waktu untuk melanjutkan kuliah. Ia pun kemudian memilih untuk fokus memproduksi batik. Mendengar hal itu, ayahnya berniat menyerahkan perusahaan batik di Pekalongan kepadanya, namun Afif menolak. Alasannya, kalau hanya meneruskan usaha orang tua, jadi kurang tantangan. Lagipula harus berbagi deviden dengan saudara-saudaranya yang lain. Afif memilih untuk merintis dan membesarkan usaha sendiri.
Salah satu risiko dari pilihannya, Afif harus bekerja lebih keras. Apalagi ia sudah berketetapan untuk lebih banyak menggarap private order, meski tak mengesampingkan mass product seperti yang dikerjakan keluarganya di Pekalongan. "Butuh lima tahun untuk menemukan identitas. Setelah sepuluh tahun baru benar-benar settle. Semua yang saya lakukan dengan modal sendiri, tidak ada beban utang di bank," tegasnya.
Tidak hanya usaha yang semakin mantap, tetapi juga semakin besar dan berkembang. Perusahaan milik ayahnya di Pekalongan pun akhirnya dia beli. Uang hasil penjualan perusahaan itu dibagi untuk semua anak H Syakur, termasuk Afif tentunya.
Kecintaan Afif Syakur terhadap batik tak perlu diragukan lagi. Kecintaan itu pula yang membuatnya sukses. Sekarang, setelah usahanya mapan, pemilik APIP's Batik ini banyak mendedikasikan waktu dan ilmunya untuk pelestarian dan pengembangan batik. Ia banyak terlibat dalam berbagai organisasi atau paguyuban pecinta batik.
Saat ini ia menjabat sebagai Ketua III Paguyuban Pecinta Batik Indonesia (PPBI) Sekarjagad, Ketua Umum Paguyuban Batik Tulis Nitik Yogyakarta, salah satu pendiri dan ketua APPBI (Asosiasi Pengusaha dan Perajin Batik Indonesia), anggota Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia (YBI), pengurus Dekranasda DIY, serta penasihat Indonesian Fashion Chamber (IFC).***