Platinum

Catatan Harian dari Kiev: Lima Hari Terjebak Diantara Hidup dan Mati

M E Kris Paso
03 March 2022
.
Catatan Harian dari Kiev: Lima Hari Terjebak Diantara Hidup dan Mati

Zakhida Adylova beserta anak gadis dan ibunya terjebak di medan pertempuran dengan stok makanan yang menipis. (Foto: PM-Al Jazeera/Coutesy of Zakhida Adylova)

Kiev (PM) - Terjebak di medan pertempuran bukan hal yang mudah. Seluruh energi terkuras habis hanya untuk memikirkan satu hal: bagaimana bisa selamat. Apalagi sudah yang ketiga kalinya mengalami hal yang sama dan dengan 'dalang' yang juga sama. Tentu saja, pengalaman traumatis dua peristiwa sebelumnya, semakin membuat perasaan selalu diliputi rasa cemas.

Kondisi itulah yang sedang dialami oleh Zakhida Adylova (35), guru dan pengelola acara Talk Show politik di akun You Tube miliknya.  Bersama Samira anaknya yang berumur 11 tahun dan Abibe (75), ibunya,  Zakhida terjebak di Kiev, Ibu kota Ukraina, yang menjadi target utama pasukan Rusia. Pengalaman pahit tentang perang atau invasi, pertama kali dialami Zakhida pada tahun 1944 di masa pemerintahan Joseph Stalin.

Saat itu, Zakhida yang asli Tatar Crimea, dan merupakan etnis minoritas Muslim, karena gempuran pasukan Stalin, dia dan keluarga  harus angkat kaki dari tanah kelahirannya, Crimea Peninsula menuju Uzbekistan. Pada tahun 1993, mereka kembali ke Crimea, yang saat itu  masih menjadi bagian dari Ukraina. Dua puluh satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2014 silam, akibat aneksasi yang dilakukan Rusai, Zakhida kembali harus meninggalkan tanah kelahirannya, menuju Kiev.  

Kini, hal yang sama terulang kembali. Sementara untuk kembali ke Crimea, sudah tidak mungkin, sebab seusai invasi Rusia pada tahun 2014, Crimea menjadi 'negara' sendiri, di bawah kendali Rusia. Dari balik kamar di rumahnya di Kiev,  Kazhida mengungkapkan pengalamannya saat terjebak di medan pertempuran selama 5 (lima) hari sebagaimana dikutip Al Jazeera.

Hari Pertama: Kamis, 24 Februari 2022

6.20 a.m. (05.20 WIB): Saya terbangun oleh suara teriakan anak  saya. Dia berteriak, perang sudah mulai.

Dengan kaki gemetaran dan jantung berdebar-debar, saya melompat dari tempat tidur dan bergegas ke jendela. Tetapi di luar tampak sepi. Tidak ada seorang pun di jalan. Dengan wajah cemberut saya bertanya kepadanya,"Apa yang kamu katakan, Samira? Siapa yang katakan kepadamu kalau perang sudah mulai?"

Belum sempat menjawab pertanyaan saya, keluarga temannya menelepon Samira. Saya kemudian memeriksa pesan dan panggilan tak terjawab (missed calls) di telepon genggam milik saya.

"Bawa Keluarga dan lari menuju tempat perlindungan," demikian pesan dari Alex, pejabat militer yang juga teman dekat.

Jantung saya seperti berhenti berdetak. Tiga hari sebelumnya, ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui  kemerdekaan Luhansk dan Donetsk,  saya merasa perang sudah datang, kendati demikian saya berharap bahwa perasaan saya ini,  salah.

6.36 a.m. (05.36 WIB): Dalam kondisi panik, Samira mulai mengepak pakaian dan alat-alat permainan miliknya. Sementara ibu saya, Abibe, yang selama ini tinggal bersama saya, tampak pucat. Saya bingung, tidak jelas apa yang harus dilakukan. Tetapi saya kemudian teringat  kalau saya pernah mendengar dari orang-orang Tatar Crimea, bahwa ada tempat untuk berlindung dari serangan udara di dekat Masjid. Saya berpikir untuk membawa adik dan ibu ke sana yang jarak tempuhnya  sekitar 15 menit. 

Sekitar  20 menit semua barang-barang sudah selesai dikemas. Saya sendiri hanya membawa dokumen-dokumen penting, pakaian dalam dan beberapa kaos t-shirt, laptop, kotak obat-obatan dan sejumlah uang tunai.

6.56 a.m (05.56 WIB). Di luar, dari berbagai arah, orang tampak bergegas sambil membawa koper dan ransel. Beberapa diantaraya langsung menuju mobil pribadi, sementara yang lain menunggu di tempat pemberhentian bus. Saya mencoba mencari bus ke arah Bolt atau Uber, tetapi tidak ada. Akhirnya, kami naik trem menuju Masjid. Sepanjang perjalanan, saya mengikuti perkembangan situasi lewat telepon genggam.  Ternyata, pasukan Rusia dengan kekuatan penuh menyerang dari Utara, Timur, dan Selatan, secara bersamaan. 

Ketika tiba di Masjid, hanya ada penjaga. Pintu Masjid tertutup, dan informasi dari penjaga, di situ tidak ada shelter atau tempat perlindungan. Dengan rasa kecewa kami meninggalkan tempat itu, dan memutuskan untuk kembali ke Kiev. Dalam perjalanan pulang, saya memikirkan rencana baru: jika terjadi serangan yang serius, kami akan mengungsi ke stasiun kota. 

Sementara itu, pikiran saya kembali melayang ke tahun 2014, ketika pasukan Rusia melakukan invasi ke tanah kelahiran saya. Masih teringat, saya diliputi rasa cemas ketika tank-tank memasuki kota Simferopol, sementara ribuan orang, baik yang pro Ukraina maupun pro Rusia,  terlibat pertempuran di  dekat Vherkhovna Rada, Crimea. 

Akibat aneksasi terhadap Crimea, saat itu, saya tertidur di Ukraina, dan bangun kembali keseokan harinya di Rusia. Itu merupakan mimpi buruk saya. Saya melarikan diri ke Kiev tetapi saya merasakan jantung sepertinya terlepas dari tubuh saya. Perasaan saya, hari ini seperti hari yang berulang. Saya ingin, saya masih bisa bangun dari tidur dan melupakan mimpi buruk. Tetapi mimpi buruk ini adalah nyata.

10.00 a.m. (10.00 WIB). Setibanya  di kamar kontrakan di lantai dasar bangunan tua lima lantai di daerah padat permukiman,  dekat gedung Kedutaan Amerika Serikat, saya menutup semua jendela dan cepat-cepat mencari dalam jaringan (online) panduan gawat darurat. Sementara ibu dan adaik saya membantu menyiapkan  koridor menjadi tempat perlindungan dari bom dengan menumpuk bantal dan selimut di lantai.

11 am (11.00 WIB). Saya mulai kerja. Saya menyiapkan  acara talk show  politik di Yout Tube yang akan ditayangkan malam ini.  Saya bertangung jawab terhadap pembicara tamu, termasuk Lech Wallesa, mantan Presiden Polandia, dan mantan penasehat kamanan nasional Amerika Serikat, John Bolton. 

1 pm (13.00 WIB).  Saya merekam video pendek untuk dimasukkan di Facebook. Dengan suara bergetar, saya menyanyikan lagu kebangsaan. Hal ini adalah cara untuk meningkatkan semangat dan rasa persatuan. 

Saya melanjutkan kerja,   sedangkan Samira menonton video di You Tube, dan Abibe membaca berita-berita terkini di situs pemerintah Ukraina. Sementara itu, telepon genggam saya terus berdering, ada telepon masuk dari teman-teman  di Crimea, Romania, Lithuania, Amerika Serikat, Israel, Turki, dan kota-kota lainnya. Mereka khawatir dengan nasib saya tetapi saya meyakinkan mereka bahwa kekuatan militer kami yang terbaik dan mereka telah berjanji,  memberikan hidupnya untuk melindungi kami. 

6pm (18.00 WIB). Terjadi serangan siber dari Rusia dengan menggunakan DDoS yang menyebabkan terganggunya sinyal internet sehingga penyiaran talk show ditunda. Saya tetap menyelesaikan wawancara dengan John Bolton dan langsung ditranskrip. Dia katakan, jika kami bisa mengatasi keunggulan Rusia di udara, maka kekuatan militer Ukraina  di darat juga bisa menghalau pasukan yang melintasi perbatasan.

11.30pm (23.30 WIB): Saya menyiapkan tempat tidur untuk anak dan ibu, di koridor. Mereka marah, tetapi mereka memahami sikap saya  yang keras kepala, mereka lalu memahami. Saya menjaga mereka dan mendengarkan suara-suara di luar. Ketika  saya  tertidur  pukul 02.00 WIB, saya kemudian terbangun oleh suara ledakan di Vyshgorod, sebelah utara Kiev. Ini merupakan yang pertama kali saya mendengar suara ledakan.

Hari Kedua: Jumat, 25 Februari

6.59 a.m (06.59 WIB): Saya terbangun oleh deringan telepon dari sahabat di Crimea yang khawatir terhadap saya. Orang-orang Tatar Crimea pernah merasakan bagaimana menjadi seorang yang teraniaya dan memiliki rasa simpati terhadap orang-orang Ukraina. Banyak yang menanyakan bagaimana caranya untuk membantu, lalu saya memberikan informasi  kepada teman saya  tentang surat permohonan dan cara untuk membantu militer Ukraina (Armed Forces of Ukraine/AFU).

Saya diliputi rasa takut dan frustasi. Teringat, saat terakhir saya mengunjungi psikolog karena trauma meninggalkan tanah kelahiran.  Jangan panik,  kataku  kepada diri sendiri. Dan untuk pertama kalinya saya menangis.

10 a.m (10.00 WIB): Terdengar suara peringatan serangan udara. Samira langsung ke koridor dan melindungi diri dengan selimut. Ibu saya juga melakukan hal yang sama. Saya ketakutan dan mulai gugup saat melihat  kabar terbaru dalam jaring (daring). Mantan murid dari Slowakia menelepon saya. Dia khawatir dan jika saya memutuskan untuk mengungsi, dia menawarkan rumahnya sebagai tempat pengungsian. Dia juga khawatir dengan keluarganya di Melitopol, Ukraina bagian tenggara.

11 a.m (11.00 WIB): Saya keluar rumah untuk membeli roti, tetapi  toko-toko tutup atau stoknya habis. Sekitar 10 toko saya datangi, dan akhirnya ikut antrean panjang di sebuah mini market yang masih buka. Tiba-tiba, sirine peringatan serangan udara meraung. Sebagian orang keluar dari antrean lari menyelamatkan diri, sementara sebagian masih tetap dalam barisan karena yakin tidak akan terjadi apa-apa. Saya berlindung di dalam toko, lima menit kemudian saya lari pulang ke rumah.

4 p.m (16.00 WIB): Saya keluar lagi mencari grosir (toko-red). Saya harus menunggu berjam-jam untuk bisa masuk ke  sebuah toko. Di depan saya ada sekitar 25 orang, sementara di samping saya  ada 50 orang. Di toko itu, belanja dibatasi  dan saya hanya bisa membeli pisang, coklat, dan sebungkus biskuit.  

6 p.m (18.00 WIB): Saya kembali ke rumah dengan perasaan bingung dan lelah. Ada berita menggembirakan dari tayangan video melalui aplikasi Telegram, tentara berhasil mempertahankan Ukraina.

11 p.m (23.00 WIB): Saya bersama ibu, dan anak saya menyanyikan lagu kebangsaan. Hal ini  membuat kami merasa lebih baik. Kemudian saya memposting video pendek perkembangan terbaru melalui akun Instagram dan Facebook dibagikan kepada teman-teman di seluruh dunia. Beberapa menawarkan untuk tinggal di rumah mereka, tetapi sudah tidak mungkin untuk pergi. Jalan telah dibombardir  dan stasiun bahan bakar kosong.

......Saatnya untuk kembali menjaga anak gadis dan ibu yang tidur di koridor......

Hari Ketiga: Sabtu, 26 Februari  

7 a.m (07.00 WIB): Saya sangat kelelahan sehingga saya tidak mendengar alarm. Panggilan telepon pertama hari ini dari kakak saya, Erfan (51) yang tinggal di pinggir sungai Dnieper di Kiev, sekitar 12 km jaraknya dari rumah saya. Saat perang meletus, dia menutup kafe mininya yang melayani warga Tatar Crimea, dan segera bergabung dengan unit pertahanan wilayah.

Sepanjang malam, Rusia membombardir daerah di dekat rumah saya. Karena kami menggunakan sistem  peringatan serangan udara otomatis sehingga respon kami pun otomatis. Kami tidak terlalu panik, kami hanya berbaring di lantai dan berdoa.

Samira belajar membedakan antara suara ledakan bom dan senjata. Dia menyebutkan jenis ledakan yang didengarnya dan ini mengalihkan dia dari rasa takut.

8 a.m (08.00 WIB): Saya terus mengirim pesan singkat kepada teman-teman di seluruh dunia dan beberapa di Crimea. Teman-teman selalu menawarkan untuk tinggal di rumah mereka. “Jika memungkinkan untuk ke Rumania, keluarga saya bisa menampungmu,” kata seorang teman.

Tetapi saya tidak akan lari.

Saya geram. Orang-orang Ukraina geram. Saya benci Rusia atas invasi ke tanah kelahiran saya, dan melakukan invasi berdasarkan kebohongan. Saya tidak akan melarikan diri. Saya kesal harus bersembunyi di negara saya sendiri.

Saya tetap di sini untuk bertarung.

Saya memang tidak bisa menembak, tetapi saya mampu menceriterakan tentang kebenaran. Senjata saya adalah kata-kata. Saya bisa memposting informasi terbaru di media social. Tetapi ketika ada ledakan bom, koneksi internet melemah sehingga saya tidak bisa memposting apa pun.

Selama saat-saat tenang, ibu saya cepat-cepat ke dapur untuk memasak makanan.

Ibu membuat roti, beberapa spageti keju dan saos, tapi saya tidak ada selera untuk makan. Saya berbohong kepadanya bahwa saya sudah sarapan. Dia meletakkan piring makanan di lantai  sekaligus menjadi meja, di koridor tempat di mana kami menghabiskan waktu.

10 a.m (10.00 WIB):  Sirine serangan udara berbunyi. Ada serangan baru. Saya dan anak gadis saya sembunyi di kamar mandi sementara ibu memutuskan untuk tetap berada di koridor. Saya meletakkan selimut dan bantal  di dalam kamar mandi dan meminta Samira untuk masuk ke dalam.

Beberapa teman yang berlindung di stasiun kota meminta saya untuk bergabung dengan mereka. Tetapi saya sudah kesal dengan bersembunyi sehingga apa pun yang terjadi, saya memutuskan untuk tetap di rumah. Rumahku adalah Surgaku.

9 p.m (21.00 WIB): Saya duduk di lantai kamar mandi sembari mengucapkan Al-Fatihah. Ibu saya dan Samira juga mengucapkan Al-Fatihah. .

Hari Keempat: Minggu, 28 Februari

7:44 a.m (06.44 WIB). Serangan udara membangunkan saya. Selama beberapa hari ini tidak ada perubahan, tetapi hari ini saya merasakan perbedaan. Beberapa hari bertahan dari gempuran Rusia membuat kami lebih kuat, positif dan bersatu.

Melihat postingan teman di Odesa lewat media sosial, membuat saya tersenyum. Dia menulis, diantara para prajurit yang mempertahankan Ukraina terdapat orang-orang yang berbeda jenis kelamin, orientasi seksual, kebangsaan, dan  agama, berbeda warna kulit dan bahasa. Tetapi kita semua bersama-sama, berdiri bahu membahu. Kita adalah orang Ukraina sekalipun berbeda-beda.

2 p.m: (14.00 WIB): Saya dengan anak saya memutuskan untuk bermain game Dobble. Dia berhasil mengalahkan saya 10 kali. Saya merasa bahagia melihat senyumnya yang indah. Dia adalah malaikat saya.

6 p.m (18.00 WIB): Saya duduk di koridor sambil membaca berita unjuk rasa untuk perdamaian yang terjadi di seluruh dunia dan tentang sanksi-sanksi terhadap Rusia. Saya tidak tahu apakah beberapa jam ke depan saya masih hidup, tetapi  saat ini  saya  menangis, bukan karena invasi tetapi karena semua dukungan yang telah kami terima.

Hari Kelima: Senin, 28 Februari

Semalaman, terjadi berkali-kali pengeboman yang membuat pintu dan jendela bergetar. Tetapi hari ini saya tersenyum karena saya masih hidup dan keluarga saya selamat.

Kami tidak memulai perang ini, tetapi kami tidak mempunyai pilihan tetapi harus memenangkannya.***

 

    

Griting

Baca Juga