.
Dr Agus Slamet STP,MP: komitmen menghadapi masalah baik suka maupun duka . (PM-Renata Dhea)
KEBERHASILAN suatu perguruan tinggi swasta, pastilah tak lepas dari kepiawaian sosok Rektor sebagai ‘juru mudi’. Demikian pula yang terjadi pada Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) – yang kini menjadi salah satu universitas incaran calon mahasiswa dari seluruh penjuru tanah air.
Sosok tersebut adalah Dr Agus Slamet STP MP. Menjabat Rektor UMBY sejak Oktober 2021 lalu. Pria kelahiran Sleman 50 tahun lalu ini, sangat ramah dan selalu bicara bernas -- ciri khas seorang pendidik. Dr Agus merupakan sarjana Teknologi Hasil Pertanian (THP) dari Universitas Wangsa Manggala (tahun 2008, berganti nama menjadi Universitas Mercu Buana Yogyakarta), S2 jurusan Ilmu dan Tekonologi Pangan UGM, S3 Jurusan Ilmu Pangan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta lulus cum laude dengan IPK 4.
Berikut perbincangan dengan patmamedia.com untuk mengenal lebih jauh Dr Agus Slamet STP MP itu, di ruang kerjanya, Jumat (4/2-2022) di Kampus Pusat UMBY Jl Raya Yogyakarta.
Apa kesan Bapak, menjadi Rektor, tepat 25 tahun mengabdi?
Saya menjalani hidup ini mengalir saja. Sumendhe kersaning Allah. Menjadi Rektor, adalah amanah.
Bagaimana Bapak akan membawa UMBY ke depan, mengingat begitu banyak PTS di Yogya..
Pada prinsipnya, saya meneruskan kepemimpinan Rektor sebelumnya yang sudah sangat bagus. Jika ada yang kurang seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman, harus ditingkatkan.
Apa yang harus ditingkatkan?
Di antaranya, jabatan akademik. Ini harus didorong lagi. Misal, yang belum S3, harus kami motivasi, karena UMBY menyediakan dana. Beberpa waktu lalu kami kumpulkan dosen-dosen yang jabatan akademiknya belum maksimal. Ada juga percepatan untuk menjadi guru besar. Intinya, UMBY membuka kesempatan para dosen untuk maju.
Secara umum. bagaimana bapak memandang pendidikan tinggi di Yogyakarta -- terkait dampak pandemi Covid-19?
Kalau secara umum, pendidikan tinggi di Yogya tetap menjadi idola tempat belajar bagi calon mahasiswa seluruh penjuru tanah air. Sementara, di UMBY, tak permasalahan serius. Tak ada penurunan jumlah mahasiswa. Meski pelaksanaan kuliah 2 tahun ini online. Di akhir semester gasal kemarin, kuliah tatap muka terbatas sebagai ujicoba untuk dilaksanakan semester genap. Tapi sepertinya, harus PPKM lagi.
Bagaimana cara menjaga semangat belajar mahasiswa di masa pendemi ini?
Dengan memaksimalkan komunikasi dan pendampingan melalui teknologi. Jika dulu ada WA Group selama perkuliahan saja, kini tidak perlu dibubarkan agar mahasiswa tetap dapat konsultasi.
Merisaukan degradasi kualitas penddikan, akibat pandemi Covid-19?
Saya kok tidak risau ya. Karena semua terpantau, ada aturan, ada parameternya. Jadi semua hal terukur. Tidak bisa begini, begitu meski dalam kondisi apapun. Misal, prestasi mahasiswa, sudah ada ukurannya. Demikian pula kualifikasi dosen, juga ada ukuran baku. Pengabdian masyarakat, juga ada ukuran keberhasilan. Sehingga saya yakin untuk kualitas pendidikan tetap masih pada standar.
Ada kekhawatiran akibat kegiatan belajar-mengajar melalui daring?
Ya ada, karena online pasti ada keterbatasannya. Beda dengan tatap muka. Karena tetap berbeda ketika ujian off line ‘kan ditunggui, mungkin akan ditegur jika bersikap tidak sebagaimana mestinya. Nah, jika online ada keterbatasaan. Sebaiknya, tidak terbatas e-learning tetapi juga by video call .
Jadi, selama ini, kualitas masih on the right track?
Ya masih, meski jika dibanding dengan ketika pasti ada perbedaan. Dengan tatap muka langsung, dosen bisa memberi motivasi, keteladanan, kedisplinan. Sedang melalui daring, menjadi sangat terbatas. Apalagi mereka dapat melakukan off camera, dengan alasane sinyal. Nah, dengan tatap muka dosen akan tahu, apakah mahasiswa paham atau tidak.
Bagi perguruan tinggi yang peserta didik semua sudah dewasa, tatap muka juga sangat penting?
Pastilah, dengan tatap muka kita dapat melakukan relasi yang riil. Ini juga bagian dari proses pendidikan, sebab pendidikan bukan hanya transfer of knowledge. Dengan tatap muka, dapat memaksimalkan diskusi antara dosen-mahasiswa. Apalagi mata kuliah yang harus praktikum, dengan online sangat terkendala. Tapi di UMBY, praktikum diselenggarakan pada pekan terakhir secara terbatas dan prokes ketat.
Bagaimana Bapak memandang UMBY, saat ini? Ibarat tanaman bunga, apakah sudah mekar mewangi?
Wah, ini harus cerita dari awal. Universitas ini memiliki cerita panjang. Tahun 1986, lahir sebagai Universitas Wangsa Manggala, yang sebelumnya sejak 1984 adalah Institut Pertanian Wangsa Manggala – saya salah satu lulusannya. Setelah jadi uniersitas, berkembang pesat. Namun tahun 1996, menurun tajam terkait dengan pelbagai catatan sejarah. Mulai 2008 berganti nama jadi Universitas Mercu Buana Yogyakarta seperti saat ini – bekembang pesat. Ibarat tanaman bunga, kini tengah berkembang, harum mewangi..
Tugas kami adalah menjaga agar terus berkembang dan terus menebar harum dunia pendidikan. Ini tidak mudah, karena persaingan dunia pendidikan di Yogya sangat ketat.
Apa strategi untuk menghadapi persaingan tersebut?
Menjaga kualitas pendidikan, pelayanan pelayanan. Meningkatkan prestasi mahasiswa. meningkatkan fasilitas pendidikan. Ini sejalan dengan pihak yayasan yang terus memikirkan dan memrogram pembangunan fasilitas fisik, laboratorium, dan fasilitas kegiatan mahasiswa.
Berapa jumlah mahasiswa saat ini?
Sebelas ribu dua ratus dua mahasiswa. Berkembang pesat sejak 2008, begitu kami ganti nama. Sebelumnya, kami di titik terendah. Pernah hanya 400 mahasiswa ketika ada banyak ketegangan karena peristiwa sejarah. Tapi hal itu justru sangat bersejarah bagi kami. Rata-rata penerimaan mahasiswa baru mencapai 3.000, yang akan kuliah di tiga kampus UMBY.
Sepertinya, UMBY meruakan satu-satunya universitas yang pernah mengalami trauma politik.
Begitulah siklus kehidupan. Waktu itu, kami hadapi dengan niat baik. Ketika kondisi ‘turun’ tahun 1998, banyak dosen yang pensiun dini, karena menilai masa depan universitas tidak jelas. Namun bagi saya, bukankah ketika masuk saya-lah yang melamar? Saya harus konsekuen dengan pilihan. Komitmen ikut menghadapi segala permasalahan. Jika sudah memilih, ya harus menerima segala suka dan duka.
Perjuangan itu, kini mencapai puncak sebagai rektor...
Saya tak pernah membayangkan akan mengemban tugas sebagai rektor. Prinsip hidup saya, bekerja sebaik mungkin, selebihnya sumende kersane Gusti Allah. Hal utama, harus memiliki komitmen dan loyalitas dalam hal apapun. Hal itu juga yang menyemangati saya ketika harus studi lanjut, S2 dan S3.
Semula hadir sebagai Institut Pertanian, masihkah ada benang merahnya saat ini?
Pertanian harus dikedepankan. Bagaimanapun secara umum saya melihat pertanian tak bisa ditinggalkan. Apalagi Indonesia berpenduduk 220 juta lebih. Tak hanya butuh 1 miliar piring nasi perhari, tetapi juga sayur mayur dan lauk pauk. Sementara laham pertanian di negeri kita masih cukup luas. Jadi sebenarnya, kita ini tidak takut kekurangan pangan asal pertanian dikelola secara benar.***s
Pewawancara: Esti Susilarti dan Renata Dhea