.
Salah satu penari jathilan klasik yang pentas di depan lurah dan pamong Kalurahan Kebonharjo, Kapanewon Samigaluh (PM-Roberto)
Kulonprogo (PM) – Setelah mengalami kevakuman bertahun-tahun, tiga grup kesenian jathilan klasik mendapat kesempatan pentas dalam rankaian memeriahkan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Kemerdekaan RI di Kalurahan Kebonharjo, Kapanewon Samigaluh, Kulonprogo.
Kesenian jathilan klasik jarang pentas karena kalah bersaing dengan kesenian jathilan kreasi yang selalu beradaptasi dengan jamannya. Kondisi ini diperparah akibat dampak pandemi Covid-19.
Grup Jathilan Ngesti Budoyo, Bekso Kuda Manunggal dan Grup Jathilan Turonggo Muda masih tetap eksis meskipun mulai dilupakan oleh sebagian penggemarnya. Tiga grup jathilan berkesempatan pentas secara bergantian di halaman kalurahan, Kamis (18/8).
“Di Kebonharjo banyak grup kesenian seperti jathilan, ketoprak, shalawat erang-erang dan grup kesenian tradisional lain. Pada puncak peringatan HUT RI memberikan kesempatan grup kesenian jathilan klasik untuk pentas,” ujar Triyongko, Ketua Panitia HUT ke-77 RI Kalurahan Kebonharjo.
Menurutnya, hanya bisa memberikan kesempatan tiga grup kesenian klasik pentas dalam rangkaian memeriahkan HUT ke-77 Kemerdekaan RI. Grup kesenian lain akan diupayakan bisa pentas pada kesempatan yang berbeda.
Anggota grup kesenian klasik didominasi generasi tua dengan pementasan tidak banyak mengalami perubahan. Alat musik pokok yang dipergunakan sederhana, meliputi kendhang, angklung, bende dan kepyak. Para penari menaiki kuda lumping dengan gerakan khas mengikuti iringan musik.
Ketua Grup Jathilan Turonggo Muda, Suparno (74) mengungkapkan grup jathilan didirikan pada tahun 1958. Pendiri grup jathilan almarhum Kromo Winoto. Ia mendapat kepercayaan sebagai ketua menggantikan alarmum sejak 1980 hingga sekarang.
Menurutnya, grup jathilan beranggotakan sekitar 30 orang. Sebelum pandemi Covid-19, sering diminta pentas pada acara hajatan pernikahan dan syukuran.
“Saya sejak kelas IV SD sudah menjadi penari jathilan. Harapan saya jathlan klastik bisa tetap lestari,” ujar Suparno.***