Platinum

Kado Hari Jadi ke-106 Kabupaten Sleman: Pencegahan Kejahatan Jalanan Masih Jadi PR

Esti Susilarti
17 May 2022
.
Kado Hari Jadi  ke-106 Kabupaten Sleman: Pencegahan  Kejahatan Jalanan Masih Jadi PR

Benda-benda yang digunakan dalam kejahatan jalanan (PM-Ist)

TANGGAL 15 Mei 2022 ini Kabupaten Sleman merayakan Hari Jadi  ke-106. Rentang usia yang cukup ‘matang’ bagi suatu kabupaten  untuk melesat ke depan membangun masyararakat. Umur yang justru lebih senior dibanding Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  yang formal ‘lahir’ 17 Agustus 1945.

Setiap kawasan di Kabupaten Sleman nampak semarak. Ucapan selamat juga muncul  di barbagai media – menggemakan tagline: Sesarengan Gumregah Mbangun Sleman, Sleman Gumregah. Sederet kata ‘mantra’ yang memberi semangat bagi semua saja. Menebar optimis, setelah dua tahun masyarakat diluluhlantakan oleh dahsyatnya pandemi Covid-19. Seluruh sektor kehidupan terkena dampak pandemi.

Ada satu catatan patmamedia.com  yang  dapat menjadi Kado Cinta untuk perayaan hari ulang tahun ke-106 Kabupaten Sleman ini. Yakni, kasus kejahatan jalanan --  yang pernah populer disebut klithih. Pada caturwulan pertama tahun 2022, Kabupaten Sleman mendapat sorotan dari masyarakat umum dan netizen terhadap cara menghadapi dan menangani kasus ini.

Masih lekat dalam ingatan masyarakat,  Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo,  enggan memberi label menyebut pelaku kejahatan jalanan sebagai kenakalan anak/remaja apalagi kriminal. Menurut Kustini pelaku kejahatan jalanan merupakan anak kreatif yang salah mengambil sikap. Tindak kejahatan pun disebut sebagai kreativitas yang kurang mendapatkan pengarahan akibat rendahnya peran serta dari kalangan dewasa yang seharusnya menjadi teladan, panutan dan guidance conseling bagi anak yang tumbuh kembang.

Sebagai penyandang gelar Sarjana Pendidikan, Kustini  Sri Purnomo, tidak salah mengambil sudut pandang ini. Kepolisian Daerah DIY akhir 2021 lalu memublikasikan dari 102 orang yang dilaporkan terlibat aksi kejahatan jalanan 80 orang status pelajar, sisanya pengangguran. Dari data ini, Kustini tak salah  mengatakan  pelaku adalah kalangan pelajar/remaja. Oleh karena itu dalam keterangan tertulis 4  Januari 2022, menyebutkan anak-anak pelaku tersebut kelebihan energi namun  kurang edukasi. Sehingga seperti jentera lepas dari hal positif.

Sebagai Bupati Sleman sekaligus  ‘Ibu Anak-anak Sleman’ Kustini nampak  lekat  berpijak  pada teori dasar pendidikan Tabularasa.  Yakni anak terlahir bagaikan kertas putih. Apa dan bagaimana tulisan, coretan, warna yang akan terjadi merupakan proses kehidupan. Ini tergantung pada lingkungan terdekat (keluarga), masyarakat sekitar (sosiologis) dan lingkungan yang direncanakan (sekolah). Dari teori ini tak ada stigma anak bodoh, nakal, pintar, dan lainnya. Semua sama, bagaikan kertas putih.

Kenyataannya, kasus kejahatan jalanan  selalu bermuara pada urusan hukum. Tak hanya terjadi di Sleman, tetapi juga di wilayah lain. Gubernur DIY Sri Sultan HB X memberi perhatian khusus, menyerahkan pada jalur hukum. Masyarakat luas was-was karena keamanan menjadi sangat rawan. Banyak pakar yang menyatakan kejahatan jalanan akhir-akhir ini tak sekadar kenakalan remaja. Tetapi telah menjadi terror keamanan bagi siapa saja. Sebab mereka melakukan kejahatan menggunakan peralatan yang mengerikan, seperti clurit, benda keras dari besi, rantai sepeda, gir dan banyak lagi.

Di sisi lain, Kustini juga setuju kejahatan jalanan tak dapat dibenarkan.  Namun tetap mengingatkan bahwa kejahatan jalanan bukan terjadi tiba-tiba dan kesalahan anak-anak. Merupakan proses saling berkait dengan banyak hal yang perlu tanganani bersama antara pihak orangtua/keluarga, masyarakat, sekolah dan pembinaan dari pihak berwajib. Di Netherland dan Amerika Serikat, kasus kejahatan yang dilakukan anak kurang dari umur 18 tahun, pasti akan menyeret orangtuanya. Hal ini terkait dengan kewajiban orangtua untuk mengasuh dan mendidik anak dalam keluarga. (Jenny Parker, 2002). Sehingga banyak kasus anak yang melakukan tindak kejahatan, tetapi orangtua yang divonis hukuman.

Penelitian kualitatif untuk thesis tentang Tawuran Pelajar di Yogyakarta pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negri Yogyakarta (Esti Susilarti, 2007) menyebutkan faktor kondisi keluarga menempati urutan tertinggi sebagai penyebab kenakalan remaja yang diekspresikan pada tawuran pelajar. Jawaban yang muncul dari para pelaku tawuran pelajar yang juga menimbulkan dampak hukum adalah: pelarian dari perasaan kesepian dan sedih akibat perceraian ayah dan ibu (broken home), kecewa karena kurang perhatian akibat ayah dan ibu sibuk mencari nafkah sehingga keluarga jarang bertemu, merasa tidak ‘dianggap’ karena ayah-ibu abai pada perkembangan dan prestasi akademis anak, karena menganggap prestasi di sekolah adalah tugas guru.

Dari 7 responden, tak ada yang menempatkan problem finansial. Artinya, orangtua memberi fasilitas finansial lebih dari cukup, lengkap dengan sepeda motor. Bahkan 4 di antarnya boleh membawa mobil meskipun belum usia 17 tahun.  Disayangkan, orangtua tidak melakukan kontrol yang efektif. Sehingga yang terjadi justru aktivitas kekerasan yang bermuara pada kejahatan.

Sejauh itu, Pemkab Sleman serius menangani dan upaya pencegahan kejahatan jalanan yang pastinya sangat mencoreng ‘wajah Sleman’—antara lain dengan  mengaktifkan Pusat Infromasi dan Konseling Remaja (PIKR), usulan fasilitas wifi gratis di padukuhan dan sport center di tiap kapanewon (kecamatan) di Sleman agar remaja dapat menyalurkan kreatifitas dan inovasi melalui teknologi bukan kelayapan di jalanan.

Organisasi Karang Taruna sebenarnya dapati ditengok lagi untuk dikoordinasikan sebagai wadah kegiatan pendidikan karakter. Jika perlu, desain ulang program kerja organisasi agar menarik bagi remaja. Melalui organisasi ini, sekaligus  menjadi kontrol lingkungan dari wilayah terkecil seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga.

Sleman Sembada  akhirnya harus selalu sembada menghadapi dan menata dalam segala hal. Tak hanya berkembang secara fisik, namun juga psikis. Kejahatan jalanan, pada awalnya persoalan psikologis yang berkembang menjadi banyak kasus. Kadang timbul, kadang tenggelam. Bagaimana penanganan dan antisipasi agar tidak muncul lagi – masih menjadi PR (pekerjaan rumah) yang besar bagi Kabupaten Sleman.

Dirgahayu Sleman Sembada!    

Griting

Baca Juga