Platinum

Keindahan Sawah Tadah Hujan Penggung di Lereng Bukit Menoreh

Roberto Gusta
23 March 2022
.
Keindahan Sawah Tadah Hujan Penggung di Lereng Bukit Menoreh

Keindahan panorama sawah tadah hujan di Penggung, Kalurahan Purwosari, Kapanewon Girimulyo (PM-Roberto Gusta)

DI lereng perbukitan Menoreh Kulonprogo, masih terdapat hamparan lahan persawahan seperti diimajinasikan dalam sebuah lukisan realistis keindahan panorama perbukitan di masa lalu. Persawahan dikelilingi perbukitan itu menjadi harta karun yang tidak habis dirupiahkan.

Cobalah datang dan menyaksikan hamparan persawahan dikelilingi perbukitan di Pedukuhan Penggung, Kalurahan Purwosari, Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, DIY. Pada saat cuaca pagi cerah di balik bukit sisi timur, terlihat penampakan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Untuk mencapai ke lokasi harus melewati jalan sempit menanjak dan berkelok-kelok. Berjarak sekitar 25 kilometer (km) dari Wates, ibukota Kabupaten Kulonprogo. Dari tepi jalan keindahan persawahan di masa lalu juga terlihat.

Berkendaraan motor bisa sampai ke lokasi tetapi bagi yang berkendaraan mobil harus berjalan ratusan meter dari tempat mobil parkir di tepi jalan. Di balik rerimbunan tanaman keras, dihadapkan hamparan tanaman padi mulai menguning.

Lekukan garis pematang sawah terlihat mengikuti topografi lereng bukit. Masih seperti suasana di masa lalu, di antara tanaman padi terdapat gubuk atau rumah kecil sederhana.

Gubug- gubuk itulah menjadi tempat berteduh, istirahat dan menyimpan peralatan pertanian oleh petani seusai mengerjakan sawah. Perbukitan mengelilingi persawahan seakan melindungi bentuk keaslian sawah di masa lalu.

“Saat saya masih kecil sudah ada sawah seperti ini. Mungkin (sekarang-red) hanya varietas padi yang ditanam berbeda. (Dulu, ..red) petani yang menggarap sawah di Penggung menanam varietas Ciherang,” ujar Sukariyanto, Dukuh Penggung, Kalurahan Purwosari, Kapanewon Girimulyo.

Warga setempat mengenalnya sawah Mbulak Penggung meskipun sebagian sawah masuk di wilayah Pedukuhan Ngaglik. Merupakan sawah tadah hujan dengan luas sekitar 35 hektare (ha) yang dijadikan tanah bengkok bagi pamong Kalurahan Purwosari.

Dalam setahun hanya dapat ditanami sekali di musim hujan. Pada musim tanam pertama dan kedua, persediaan air menipis dan sebagian sawah sudah kering. Sehingga hanya bisa ditanami komoditas palawija.

Petani menggarap sawah di Penggung, katanya dalam bercocok tanam masih mempertahankan cara  yang diajarkan para orangtua dan pendahulunya. Dalam perjalanan waktu terus berubah adanya kemajuan tehnologi pertanian.

Untuk pengolahan sawah menggunakan luku bertenaga dua sapi lebih mudah melakukan pemindahan dengan kontur lahan teras iring. Petani belum lama beralih menggunakan mesin traktor. Proses pemanenan petani masih melakukan manual dengan digepyok.

Sebagian peralatan luku yang pernah dipergunakan Sukariyanto masih tersimpan di gubuk, mulai dari cacadan, pasangan, singkal maupun garu. Setelah menggunakan traktor, luku menjadi barang anti. Adapun sapi masih dipelihara di rumah meskipun tidak pernah lagi dilatih menarik luku.

“Sudah sekitar tujuh tahun, luku dipensiunkan. Di rumah ada dua alat luku. Sapinya juga masih ada tetapi tidak pernah dipakai sejak menggunakan traktor,” kata Parjono, seorang penggarap sawah di Bulak Penggung.

Varietas padi, katanya berbeda dengan varietas tanaman padi yang ditanam petani pendahulu yaitu varietas Ciherang. Meskipun banyak perubahan dalam bercocok tanam, petani masih mempertahankan adat tradisi bercocok tanam padi.

Jembadi, seorang tokoh adat tradisi warga Penggung menjelaskan ada tradisi Nyemplung Sawah dilakukan oleh petani menjelang memulai mengolah sawah. Tradisi Entas-Entas dilakukan setelah selesai menanam padi. Kemudian Wiwit, tradisi menjelang panen dan Baritan yang dilakukan setelah selesai panen padi.***s

 

Griting

Baca Juga