Kisah di Balik Panggung Srawung Seni 2023 Tuntang, Semarang
Sih Utami
05 July 2023
.
Rombongan dari sejumlah wilayah Jawa Timur dalam perjalanan menuju panggung Srawung Seni di Tuntang Semarang. (PM-Utami)
SEMARANG (PM) -- GELARAN Srawung Seni bertajuk Merayu Semesta selesai digelar Minggu 2 Juli 2023 lalu di Dusun Sejambu, Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jateng. Ratusan seniman dan penampil yang datang dari sejumlah wilayah di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah juga telah kembali ke daerah masing-masing dengan membawa bermacam kenangan mendalam.
Tapi tahukah, di balik gegap gempita panggung pertunjukan seni budaya tradisional akbar di Jateng itu, ada bermacam kisah seru dan lucu para penampil di sepanjang perjalanan menuju lokasi pertunjukan.
Menempuh jarak ratusan kilometer dari daerah asal menuju lokasi acara dengan biaya mandiri, bahkan ada yang kesasar karena salah jalan atau sempat sakit tapi merasa harus melanjutkan perjalanan, boleh jadi merupakan petualangan seru yang akan tersimpan dalam waktu yang lama sebagai kenangan. Namun juga sekaligus sebuah pengalaman membahagiakan bagi mereka yang memahami nilai perjuangan dalam sebuah misi sosial.
Peserta asal Kabupaten Lumajang bahkan nekad mengendarai sepeda motor sampai ke Pasuruan yang berjarak 100 kilometer, agar bisa bergabung dengan rombongan yang akan berangkat bersama-sama ke Jawa Tengah.
Peserta berangkat secara rombongan dengan mem-booking dua unit bus pariwisata. Sebagian lain menggunakan angkutan umum antar provinsi, dan sebagian lainnya menggunakan mobil pribadi. Berangkat malam hari menempuh jarak 400 - 600 kilometer dengan segala risiko di sepanjang perjalanan.
Tidak hanya jarak tempuh yang jauh, kendala di perjalanan seperti ban bocor, bahan bakar menipis, kemacetan, medan yang sulit hingga kondisi kesehatan peserta mendadak drop, menjadi pengalaman menantang untuk dihadapi. Satu rombongan asal Surabaya bahkan tersesat hingga sejauh hampir 70 km dari lokasi acara. Namun hal itu tidak menyurutkan niat untuk tetap tampil.
Sesepuh sekaligus pembina Sanggar Tari Jinggosobo, Banyuwangi yang akrab disapa Pak Alex, tiba di lokasi acara dengan langkah tertatih-tatih karena kondisi kesehatan sedang menurun. Toh seniman senior itu tetap bersemangat tampil, sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap suksesnya penyelenggaraan Srawung Seni, sekaligus wujud kasih dan penghormatan terhadap sesama seniman.
Cerita lainnya datang dari para ibu-ibu, remaja dan gadis-gadis kecil yang justru sangat menikmati perjalanan jauh itu sebagai sebuah petualangan yang menakjubkan. Apalagi dalam perjalanan, mereka juga mendapat kesempatan mengunjungi Kawasan Keraton Solo yang legendaris. “Ini sungguh pengalaman tak terlupakan seumur hidup,” ucap salah seorang perempuan asal Pasuruan.
Setiap perjalanan menyimpan kisah heroik dan kejutan. Memburu waktu di tengah macetnya akhir pekan menuju Kota Jogja sementara jemputan sudah menunggu tiga jam lamanya. Saat asyik mengobrol sambil menunggu pesanan makan malam tersaji, tiba-tiba kota Jogja memberi kejutan dengan hentakan gempa bumi.
Malam berlalu, Jogja memberi nuansa hangat dengan jajanan dan minuman khas. Berjalan di perkampungan melihat-lihat deretan rumah joglo dan berziarah ke makam leluhur mengajarkan sesuatu bahwa sesuatu yang sederhana itu agung.
Dari kota Jogja, salah satu rombongan melewati jalur Bawen yang berbukit-bukit. Medan jalan cukup mengasyikkan yang memungkinkan pelancong menikmati perjalanan sambil melihat hijauan lembah, hamparan sawah yang membentuk tapak siring dan ribuan pucuk pohon nyiur. Perjalanan semakin berkesan dengan gelak tawa dan temu kangen di antara sahabat yang memberi jamuan istimewa. Aneka menu yang menggoda seperti ayam goreng lengkap dengan lalapan, petai goreng dan sambal bawang berikut sidedish khas Semarang.
Di tepi barat Rawa Pening, Minggu pagi acara dimulai. Hentakan gendang dan alunan seruling memecah sepi desa. Anak-anak merias diri sejak pagi buta, lalu tampil dengan ceria sementara panitia hilir mudik memastikan pagelaran berjalan lancar.
Dan, lenyaplah segala rasa haus dan penat oleh gairah seni dan persaudaraan yang membuncah di sekitar panggung pertunjukan Srawung Seni itu.
Tidak banyak yang tahu, seorang sesepuh tampil sembari menahan sakit di balik Tari Jaranan Buto. Atau senyum haru menyaksikan Tari Sekar Jenang mengundang decak kagum dan keseruan menyantap dua nasi bakar bungkus berempat.***