Platinum

Listrik Mati di Sengir, Anak Belajar Pakai Lampu Senthir

Roberto Gusta
10 April 2022
.
Listrik Mati di Sengir, Anak Belajar Pakai Lampu Senthir

Dua anak di Pedukuhan Sengir, Kalurahan Kalirejo sedang mengerjakan tugas sekolah menggunakan lampu senthir (PM-Roberto Gusta)

Kulonprogo (PM) – Warga tiga pedukuhan di Kalurahan Kalirejo harus menggunakan penerangan lampu senthir  pada malam hari. Sementara perlaatan elektronik rumah tangga tidak dapat dipergunakan. Warga kembali dalam kehidupan di era 1990-an.

Warga Pedukuhan Sengir, Plampang III dan sebagian warga Pedukuhan Plampang II sudah sepuluh hari tidak mendapatkan aliran listrik bersamaan kejadian tanah longsor pada Kamis (31/3/2022) tengah malam.

Jaringan listrik mengalami kerusakan akibat dihantam material longsoran di Pedukuhan Plampang II belum dapat diperbaiki. Longsoran sekaligus menutup jalan mengakibatkan sebagian warga terisolir.

“Listrik sudah lama mati. Belajar pada siang hari. Kalau sore harus belajar, terpaksa menggunakan lampu senthir,” ujar Amanatul Khoiriyah (11), siswa kelas V SDN Plampang, Minggu (10/4).

Amanatul dan Vika Agustina Indayatun (10) pada saat itu sedang belajar di rumah orangtua Amanatul, Wagiman (57) warga Pedukuhan Sengir, Kalurahan Kalirejo. Meskipun siang hari di dalam rumah gelap gulita. Keduanya mengerjakan tugas sekolah hanya menggunakan lampu senthir.

Senthir adalah sebutan lampu penerangan rumah menggunakan minyak tanah. Lampu ini biasa digunakan oleh warga di wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik. Selain senthir, warga menggunakan penerangan lampu teplok atau lilin.

Wagiman mengungkapkan penerangan senthir tidak seterang lampu menggunakan sumber listrik. Sebagai penggantinya ebagian besar warga menggunakan penerangan rumah seadanya. Peralatan elektronik rumah tangga, seperti televisi, rice cooker, kulkas tidak bisa digunakan.

Sementara untuk mendapatkan minyak tanah, katanya harus membeli di Pasar Pripih, Kalurahan Hargomulyo. Minyak tanah yang dijual dipasaran non subsidi dengan harga sektiar Rp 13.000 per liter. Untuk mendapatkannya harus melewati jalan memutar karena jalan utama tertutup longsoran.

Istri Wagiman tiap sore juga harus memasak nira untuk diproses menjadi gula kelapa. Memasak nira tidak dapat ditunda karena terlambat memasak tidak bisa menjadi gula kelapa. Sejak listrik mati menggunakan penerangan lampu senthir.

“Bagi para orangtua sudah biasa tetapi kasihan anak-anak. Warga menggunakan lampu minyak tanah. Beralih menggunakan penerangan listrik sekitar 1994,” ujarnya.

Dukuh Sengir Heri Suyatino mengungkapkan sebanyak 76 KK (kelapa keluarga) atau sekitar 300 jiwa tersebar di enam RT di wilayahnya tidak mendapatkan aliran listrik akibat kerusakan jaringan listrik diterjang longsor di Plampang II.

Listrik mati di tengah sebagian besar warga menjalankan ibadah puasa. Sejak listrik mati warga tidak mendengar azan dari masjid yang dijadikan tanda waktu shalat, sahur, imsak dan waktu berbuka.

“Tidak jarang warga terlambat sahur karena tidak mendengar pengumuman membangunkan sahur dari masjid,” jelasnya.

Warga mengharapkan listrik bisa hidup kembali dan kehidupan masyarakat kembali normal. Sejak listrik mati terjadi pembengkakan biaya pengeluargan warga.

“Dengan menggunakan listrik, biaya penerangan listrik hanya sekitar Rp 2.000. Jika menggunakan minyak tanah, semalam mengeluarkan biaya untuk minyak tanah, minimal Rp 5.000,” kata Heri Suyatino.***red

 

Griting

Baca Juga