.
Salah satu model pengenalan risiko bencana bagi anak-anak dengan permainan gambar. (PM-Ist)
Jakarta (PM)- Menyambut pelaksanaan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di Bali pada 23-28 Mei 2022 mendatang, Koalisi Masyarakat Sipil untuk GPDRR menyerukan pentingnya partisipasi kelompok-kelompok berisiko tinggi (high risk groups) seperti anak-anak dan orang muda, penyandang disabilitas dan perempuan.
Kelompok berisiko tinggi itu harus ikut ambil bagian dalam upaya global pengurangan risiko bencana (PRB), menuju transformasi dari risiko ke resiliensi (kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi dengan suatu kejadian yang berat).
“Kami telah menyusun seruan aksi yang akan masuk ke dalam deklarasi formal kelompok organisasi masyarakat sipil untuk GPDRR,” ujar Koordinator Regional Global Network of Civil Society Organisations for Disaster Reduction (GNDR) untuk Eropa, Asia Timur dan Tenggara dan Pasifik, Hepi Rahmawati, dalam pernyataanya Rabu (18/5/2022).
Di Indonesia, GNDR menjadi bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk GPDRR. Seruan aksi tersebut, menurut Hepi, hadir setelah melakukan serangkaian konsultasi yang menampung masukan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Dari hasil konsultasi tersebut, organisasi masyarakat sipil di Indonesia mendorong empat hal. Pertama kemitraan komprehensif di tingkat lokal, kedua penguatan tata kelola PRB berbasis pentahelix , melibatkan pemerintah dan semua unsur masyarakat serta media massa.
Selanjutnya ialah partisipasi kelompok-kelompok berisiko tinggi dalam PRB. Selain itu juga upaya percepatan pemulihan dan integrasi solusi berbasiskan lanskap dan ekosistem, untuk melaksanakan pemulihan akibat bencana dan COVID-19.
Demi tercapainya seruan aksi tersebut, koalisi turut menggarisbawahi pentingnya upaya-upaya PRB yang inklusif dan responsif gender. Hal ini selaras dengan semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yaitu ‘Tak satu orang pun ditinggalkan’ (Leave no one behind). Artinya, kelompok-kelompok berisiko tinggi perlu terlibat sejak di tingkat lokal.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di kawasan cincin api (ring of fire), demikian Hepi Rahmawati, Indonesia selaku tuan rumah GPDRR 2022 mempunyai banyak pengalaman dalam menghadapi situasi bencana. Dalam GPDRR 2022, lebih dari 80 organisasi masyarakat sipil dari seluruh Indonesia akan berbagi praktik, dari pembelajaran hingga memperkuat kolaborasi bersama.
Ketua Umum MPBI Avianto Amri mengatakan, kunci untuk pelibatan bermakna adalah akses informasi yang inklusif dan sesuai dengan kelompok sasaran. Ia mencontohkan, anak-anak dan orang muda adalah generasi yang amat terhubung dengan akses informasi dan mahir menggunakan teknologi. Oleh karena itu, menurutnya mereka memiliki potensi untuk memberikan inovasi dan solusi. Informasi yang akurat, mutakhir, mudah dipahami dan dapat diandalkan pun turut mendukung kepemimpinan dan keterlibatan perempuan dalam situasi bencana.
Hal ini, demikian Avianto, tak lepas dari upaya mengembangan kapasitas sumber daya manusia dan pendampingan teknis sebagai bagian dari mobilisasi sumber daya, untuk menciptakan resiliensi yang berkelanjutan. “Ketangguhan hanya dapat dibangun bersama, kerentanan muncul karena ada yang ditinggalkan,” pesan Avianto.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk GPDRR adalah upaya bersama untuk menggemakan dan memperluas pelibatan masyarakat di GPDRR 2022. Koalisi beranggotakan Asia Pacific Alliance for Disaster Management (APADM), DisasterChannel.co, Dompet Dhuafa, Global Network of Civil Society Organisations for Disaster Reduction (GNDR), Humanitarian Forum Indonesia (HFI), Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), OXFAM, Platform Nasional Pengurangan Resiko Bencana Indonesia (Planas PRB), Preparedness for Disaster Toolkit (PREDIKT), Pujiono Centre, Resilience Development Initiative (RDI), SiagaBencana.com, U-Inspire Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum-Emergency Unit (YAKKUM-YEU), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)-ActionAid, Yayasan SHEEP Indonesia, dan Yayasan Skala Indonesia.*** (rilis/giono)