.
Oleh : Danang Maharsa, SE.
Bulan ini kita kembali memperingati hari Sumpah Pemuda, sebuah peristiwa penting dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak dalam proses pembentukan kebangsaan Indonesia.
Tanggal 27-28 Oktober 1928 pemuda dari berbagai organisasi yang berasal dari seluruh penjuru nusantara melaksanakan kongres di Jakarta. Pada akhir kegiatan mereka berikrar satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia. Mereka berjanji untuk bersatu membangun landasan berdirinya sebuah negara. Tujuh belas tahun kemudian negara itu berdiri setelah melewati perjuangan yang heorik.
Sekarang, sembilan puluh empat tahun sesudah peristiwa itu, apa yang bisa kita kerjakan? Bersyukur dan mendoakan arwah para pemuda kala itu, yang sekarang mungkin berstatus kakek atau bahkan kakek buyut kita, sudah tentu kita lakukan. Tetapi itu belum cukup. Syukur yang sebenar-benarnya syukur adalah merawat apa yang kita warisi.
Bung Karno pernah menyatakan bahwa perjuanganmu (perjuangan kita saat ini) lebih berat karena musuh yang kita hadapi adalah bangsa sendiri. Dulu pada jaman Bung Karno jelas musuh yang dihadapi adalah penjajah yang merupakan orang asing yaitu bangsa Belanda.
Sekarang yang kita hadapi adalah musuh yang sulit dilihat secara fisik tetapi daya hancurnya luar biasa. Gempuran ideologi dan budaya asing dilancarkan melalui internet sehingga langsung masuk ke relung-relung hati dan pikiran para pemuda. Melalui internet pula kaum sektarian menggandakan daya rusak itu untuk kepentingan individu dan goongan mereka tan peduli dengan persatuan dan keutuhan bangsa.
Oleh karena itu, untuk menghargai jasa para pemuda-pejuang kita harus betul-betul merawat spirit Sumpah Pemuda. Kita rawat dan kita pupuk semangat persatuan dan kesatuan bangsa dengan cara-cara yang sesuai dengan tantangan jaman.
Salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah dengan selalu menyaring informasi yang kita terima sebelum kita menyebarkan. Jika isi pesannya bisa menimbulkan perpecahan, lebih baik tidak disebarkan. Selain itu, kita harus selalu berpegang pada fakta dan akal sehat saat membaca informasi di media sosial.
Cara lain yang dapat kita lakukan adalah berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dengan cara demikian jelas kita sedang turut merawat semangat Sumpah Pemuda. Lebih dari itu, kita juga memupuk persatuan bangsa.
Bayangkan seandainya orang yang lahir, tumbuh dan dewasa di Sleman suatu waktu berkunjung ke tanah Papua atau ke Sulawesi atau ke Aceh. Seandainya tidak ada Bahasa Indonesia tentu akan sangat sulit berkomunikasi dengan penduduk setempat. Akhirnya kunjungan itu akan terasa sangat tidak mengenakkan.
Dengan adanya pelajaran Bahasa Indonesia bagi semua murid di seluruh Indonesia maka orang Jawa tulen tetap bisa berkomunikasi dan bersahabat dengan orang Batak. Orang Dayak tetap bisa bersahabat dengan orang Sunda. Orang Madura tetap bisa berkomunikasi dan bersahabat dengan orang Minangkabau.
Oleh karena itu, marilah kita gunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mari kita bangga berbahasa Indonesia. Contohnya, kita sudah mempunyai sebutan yang bagus untuk orang tua kita, yaitu ayah dan ibu. Kenapa harus meminjam sebutannya bangsa asing dengan menyebut abi dan umi? Kita sudah punya sebutan yang khas seperti Anda atau kamu; kenapa harus mengatakan ente atau antum?
Demikian pula dalam Bahasa Inggris. Jika sudah ada ungkapan baku dalam Bahasa Indonesia, kenapa kita harus sok Inggris
** Danang Maharsa, SE, adalah Wakil Bupati Sleman