.
Afif Syakur di antara koleksi yang dipamerkan di JNM. (PM-Istimewa)
SEDERETAN kain batik peranakan dan kebaya nyonya (encim) kuna koleksi seniman dan pengusaha batik Yogyakarta, Afif Syakur, dipamerkan di Jogja National Museum (JNM). Kegiatan yang berlangsung sejak 1 Februari 2022 hingga dua atau tiga pekan ke depan ini, merupakan rangkaian turut menyemarakkaan tahun baru Imlek.
Dalam pameran kali ini, Afif mengeluarkan sebanyak 60 koleksi lawasnya. Terdiri dari kebaya peranakan, serta batik-batik yang dibuat para perajin China tempo dulu. Tidak seperti lazimnya pameran busana yang biasanya diperagakan model dan dipresentasikan di hadapan penonton, pada pameran ini Afif menata puluhan koleksinya dalam bentuk diorama.
"Saya pikir ini lebih menarik, di samping menjaga kebaya dan kain-kain lawas itu agar tidak kotor atau rusak," kata Afif saat membuka pameran di JNM, Selasa (1 Februari) 2022) lalu.
Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah 'Batik Belanda' dan 'Batik China' merupakan rujukan untuk karya-karya batik yang dibuat dalam industri batik milik para perempuan pengusaha Indo-Eropa dan pengusaha China. Ciri khasnya dapat dikenali lewat pola serta motif Eropa dan Chinanya.
Pada masa lalu, kain batik karya mereka tidak hanya digemari perempuan golongan berada dari masyarakat Eropa dan peranakan China di kota-kota besar di Jawa seperti Batavia (sekarang Jakarta), Semarang dan Surabaya. Tetapi juga para pelanggan Indonesia dari kalangan atas.
Perempuan Indo-Eropa pengusaha batik yang paling terkenal adalah Mejuffrow (nona) Von Franquemont dan Mevrow (nyonya) Van Zuylen. Sekarang pun masih dikenal lewat nama yang diberikan untuk produk-produk mereka, yaitu batik 'Prankemon' dan 'Pansellen'. Mereka berdua, kata Afif, menandai awal dan akhir periode 'Batik Belanda'.
"Nona Carolina Josephinae von Franquemont adalah perempuan Indo-Eropa pengusaha batik pertama. Ia memulai industri batiknya di Surabaya pada tahun 1840. Sementara Nyonya Eliza van Zuylen adalah pengusaha terakhir yang pada tahun 1940 masih melakukan kegiatan usaha di Pekalongan," papar Afif.
Sedangkan beberapa peranakan China yang cukup populer, yang menuliskan namanya pada batik antara lain Oey Soe Tjoen (Pekalongan), GS Liam (Kudus), The Tjien Sing (Yogyakarta) dan Tjua Tjoen Hang (Solo).
"Hasil batik karya peranakan ini mengilhami perkembangan batik Indonesia dan telah memasyarakat sampai sekarang," Afif menegaskan.
Pada awal kedatangan di Indonesia, masyarakat China dan Belanda masih mengenakan baju tradisional mereka. Setelah itu mereka berasimilasi dengan budaya kebaya yang populer dengan istilah Kebaya Nyonya (Encim).
"Untuk peranakan China bercirikan bordir dan sulam motif China seperti bunga crisan dan macam-macam binatang. Sementara peranakan Belanda dengan ciri renda yang disulam dan aplikasi bunga-bunga dari Eropa pada kebayanya," tutur Afif.
Pada pembukaan pameran lalu, banyak ekspatriat yang hadir memberikan apresiasi. Afif sendiri berhasrat bisa memasyarakatkan lagi busana peranakan ini, terutama ke masyarakat Tionghoa dan ekspatriat yang ada di sini.
"Setidaknya langkah ini diharapkan bisa menginspirasi untuk memunculkan budaya kekinian berbasis peranakan. Artinya, kalau ingin identitas peranakan muncul, ya pakai kebaya seperti ini," pungkasnya.
Pameran di JNM ini bukan kali pertama dilakukan Afif Syakur. Pada masa lalu ia pernah menggelar pameran serupa di Kampung Ketandan, yang dikenal sebagai basis warga Tionghoa di Yogya. Juga pernah diselenggarakan di Jogja Expo Center.***s