.
Bupati Kulonprogo Drs H Sutedjo bersama pakar sejarah Dr Ahmad Athoillah, Kepala Dispar Kulonprogo Joko Mursito dipandu Rio Srundeng dan Ari Purnomo pada acara obrolan rakyat nasi kucing memperingati Hari Jadi Kalurahan Sento
Kulonprogo (PM) – Sejarah Kalurahan Sentolo menjadi pembicaraan menarik pada acara malam tirakatan obrolan rakyat sego kucing memperingati Hari Jadi Kalurahan Sentolo ke-75. Peran Sentolo tidak dapat dilepaskan dengan sejarah Kabupaten Kulonprogo.
Acara malam tirakatan dipandu pelawak Rio Srundeng dan Ari Purnomo di Balai Kalurahan Sentolo, Sabtu (12/3) malam dengan menghadirkan nara sumber pakar sejarah Dr Ahmad Athoillah MA, Bupati Kulonprogo Drs H Sutedjo, Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Joko Mursito.
“Sentolo menjadi daerah terdampak paling parah dan paling keras di Kulonprogo. Dalam catatan terdapat sekitar 13 orang meninggal di masa revolusi karena berdekatan dengan markas militer Belanda di Malangan,” ujar Ahmad Athoillah.
Sutedjo dengan bersikap santai dan diselingi guyonan dengan Rio Srundeng dan Ari Purnomo memberikan apresiasi kepada pemerintahan kalurahan yang telah memiliki sejarah kalurahan dan dapat menetapkan hari jadi kalurahan.
Sebelum penggabungan antara Kabupaten Kulonprogo dengan Kabupaten Adikarta, katanya ibukota Kabupaten Kulonprogo di Sentolo. “Sentolo memiliki peran penting. Sentolo kiranya semakin besar dan namanya tercatat menggunakan tinta emas,” ujar Sutedjo.
Pengasih Sering Banjir
Sebelumnya Ahmat Athoillah menjelaskan awal mulanya daerah tersebut diberi nama Sentolo hingga masa kemerdekaan RI. Sentolo menjadi daerah paling aman. Berbeda dengan kondisi di Pengasih yang pernah dijadikan ibukota Kabupaten Kulonprogo.
“Di Pengasih sering dilanda banjir dan banyak perampokan. Keamanan itu menjadi salah satu alasan ibukota Kabupaten Kulonprogo dari Pengasih dipindahkan ke Sentolo di 1930,” katanya.
Penulis Buku Gapura Kulonprogo Sejarah Kalurahan Sentolo ini mengungkapkan Sentolo menjadi tidak aman pada masa agresi militer II di 1948. Tersebar isu akan ada serangan militer dan pelaksanan bumi hangus oleh tentara republik dan berbagai milisi pejuang di ibukota Sentolo. Warga banyak yang mengungsi di Pegunungan Menoreh.
“Termasuk Bupati Kulonprogo KRT Purwoningrat memindahkan pemerintahan darurat kabupaten dari Sentolo ke Wadas, Kalurahan Giripurwo, Kapanewon Girimulyo tetapi hanya tiga bulan,” tuturnya.
KRT Pringgodiningrat merupakan orang pertama menjabat Bupati Kulonprogo mulai 1935 – 1945. Kalurahan Kalibondol dan Kalurahan Sentolo menjadi daerah penyangga ibukota kabupaten. “Seusai menjabat Bupati Kulonprogo, ternyata menjadi bupati pertama di Kabupaten Sleman,” katanya.
Kemudian Ahmat Athoillah menjelaskan keberadaan penyeberangan Sungai Progo sebelum ada jembatan. Terdapat dua sumber pendapatan termasuk besar di Keraton Yogyakarta. Yaitu pendapatan dari retribusi jasa penyeberangan dan pendapatan dari penambangan batu kapur di Gamping.
Pertama pembangunan Jembatan Bantar di atas Sungai Progo di 1926. Biaya pengerjaan jembatan dibiayai keraton dan pemerintahan kolonial. Untuk menyelesaikan pengerjaan pembangunan jembatan membutuhkan waktu tiga tahun.***