Reog dan Jathilan Kolosal Ala SMPN 1 Jetis Ponorogo Getarkan Lapangan Josari
Sih Utami
18 August 2023
.
Para penari Reog SMPN 1 Jetis, Ponorogo bersama pembina tari, Wenas Sudirman.(PM-Utami)
PONOROGO (PM) --Tanah lapangan Josari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Kamis (17/8) siang itu bergetar oleh tarian ratusan siswa siswi SMPN 1 Jetis, dalam gelar budaya, memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-78.
Berlangsung di lapangan terbuka, acara dimeriahkan dengan penampilan lebih dari 200 penari Reog dan Jathilan. Tidak hanya itu, bentangan kain sepanjang 78 meter (sesuai usia kemerdekaan) dijadikan media seni batik tulis yang dilakukan segenap guru dan karyawan sekolah menengah tersebut.
Bukan hal sulit mewujudkan gelaran unik dan menarik bagi Ponorogo yang dijuluki Kota Penari itu. Begitu pun bagi SMPN 1 Jetis.l tersebut.
"Meski demikian setiap gelaran memerlukan dedikasi dan kerja keras untuk dapat memberikan penampilan optimal," kata Wenas Sudirman, budayawan sekaligus guru SMPN 1 Jetis Ponorogo.
Beberapa minggu sebelum acara diadakan, ungkap Wenas lebih jauh, di bawah bimbingannya selaku guru, para penari dari semua tingkat kelas berlatih secara tekun dan disiplin.
Wenas Sudirman sendiri merupakan penari Reog sejak usia 14 tahun. Setelah selesai kuliah, pria kelahiran 1964 itu mengajar tari mulai tahun 1985 dan fokus melatih Reog untuk umum tahun 1989 hingga sekarang. SMP N 1 Jetis sendiri biasa menyelenggarakan Festival Reog antar kelas mulai 2014 sampai sekarang.
Seperti diketahui, Reog merupakan kesenian asli warisan leluhur khas Ponorogo, Jawa Timur. Tarian ini biasa dilakukan di arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat. Tarian yang juga mengandung unsur magis ini menarik karena penari utama mengenakan topeng besar berkepala singa yang dikenal dengan nama “Singa Barong” dengan hiasan bulu merak. Berat topeng rata-rata mencapai 50–60 kg. Ditambah beberapa penari kuda lumping.
Terdapat beberapa versi cerita popular tentang asal usul Reog dan Warok. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan Majapahit abad 15, pada masa Bhre Kertabhumi yang tidak puas dengan pemeritahan yang korup serta pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Tiongkok.
Sang abdi meninggalkan raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka Ki Ageng Kutu memberi "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya melaui Reog.
“Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi. Bulu-bulu merak yang menyerupai kipas raksasa menyimbolkan pengaruh kuat kaum Tiongkok. Sedangkan Jathilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit.
Jathilan berjumlah banyak dan warok yang diperankan seorang diri oleh Ki Ageng Kutu yang menopang Singa Barong hanya dengan menggunakan giginya menjadi perbandingan kontras dua kekuatan berbeda.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singa Barong dari Kediri. Pasukan Raja Singa Barong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo, Raja Klono dan Wakilnya Bujang Ganong, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga.
“Merawat warisan budaya dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi negeri adalah wujud rasa syukur kepada Tuhan atas kemerdekaan. Dirgahayu Rebublik Indonesia!” Ungkap Wenas Sudirman yang juga pemilik Joglo Paju Sanggar Reog Kartika Puri, Ponorogo.*