.
Mutia Masugi dengan buku dongeng karyanya. (PM-Dokomen Pribadi)
Yogyakarta (PM) - Kapan anak-anak mulai mengembangkan imajinasi? Kapan bisa merasakan kehangatan dekapan nenek sambil mengembarai dunia khayal? Kapan anak-anak tahu membedakan antara tokoh pahlawan dan kejahatan? Ya, kala mendengar dongeng dari orangtua di waktu malam tiba.
Persoalannya, dalam kenyataan tidak semua bocah sekarang mengenal dongeng. Orangtua terlalu sibuk, bahkan hanya untuk sekadar mendongeng satu episode pendek kepada anaknya di saat menjelang tidur. Di sisi lain banyak orangtua yang ingin mendongeng, tapi miskin perbendaharaan cerita yang baik untuk dikisahkan.
Dulu, ketika stasiun teve swasta belum merajalela, anak-anak enggan pergi tidur sebelum mendengar dongeng dari nenek mereka. Betapapun kala itu dongeng disampaikan dengan cara sangat sederhana. Tapi begitu era teve tiba dan terlebih sekarang kemudahan internet membanjirinya dengan aneka cerita berbudaya manca, dongeng yang sarat pesan lokal itu pelan-pelan tenggelam seperti kehilangan pesona.
Di tengah kegelisahan orang tua yang kehilangan pendengar setia saat ingin mendongeng itulah buku ini hadir. Membawa serangkaian kisah kebajikan leluhur dengan teknik bercerita yang berbeda. Metode bertutur tanpa efek menggurui tetapi anak tetap bisa menyesap pesan dan ilmu pengetahuan yang disisipkan.
Buku Pangeran Sudhana merupakan karya Mutia Masugi, seorang penulis asal Malang, Jawa Timur. Ibu dua putera kelahiran 1 Agustus 1983 ini juga aktif menekuni seni baca relief Candi Borobudur di Sekolah Budaya Nittramaya. Pengalamannya sebagai pembaca relief dan kecintaannya terhadap anak-anak mendorongnya menulis buku berjudul Pangeran Sudhana.
Berisi 17 judul dongeng bersumber dari karya Acharya Aryasura, pujangga abad ke-2 Mesehi yang ribuan kisahnya terpahat menghiasi dinding Candi Borobudur, Jateng. Penulis cerdik ini kemudian merevitalisasi kisah-kisah itu menjadi lebih hidup dan menggubahnya agar lebih “aman” dikomsumsi anak-anak.
Pangeran Sudhana adalah buku ke-12 yang ditulisnya. Sebelas anthologi karya Mutia Masugi yang lebih dulu terbit adalah Writing Challenge Batch 18, Story of The Rain, Rumah Sebuah Buku, Hidup Itu Puisi, Seruling Untuk Mama Bumi, Algoritma Cinta, Menggapai Asa Tak Bertepi, Mata Air Cinta, Sampah Puisi Penyair Indonesia, Tadarus Puisi IV, dan Stand By You. Di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus karyawati sebuah perusahaan ekspor kayu, saat ini ia sedang menyelesaikan satu novel berjudul Tiga Perempuan.
Alasan Mutia menulis buku dongeng Pangeran Sudhana, selain untuk memperkenalkan kisah kebajikan di balik relief Candi Borobudur, perempuan penggemar warna kuning ini juga ingin membantu para orangtua membetuk karakter mulia pada anak dengan cara menyenangkan.
Harapannya, buku ini bisa mempererat hubungan anak dan orangtua dengan membacakan buku kumpulan dongeng. Memanggil pulang anak-anak dari jerat gadget untuk kembali ke dekapan hangat orangtua sekaligus mengobarkan minat baca anak yang saat ini terus menurun.
Buku ini berisi 17 kisah bermuatan pesan moral yang cocok untuk anak-anak, terutama anak usia Sekolah Dasar. Ada sepuluh dongeng dalam bentuk fabel di dalam buku ini, yaitu "Buaya dan Kera, Burung Puyuh Pemberani, Kerbau yang Sabar, Merak Gemerlap, Lukisan Kelinci di Bulan, Orin dan Rusa Berhati Emas, Burung Pelatuk dan Singa, Sepasang Angsa Menerbangkan Kura-Kura”.
Selalu ada nasihat atau pesan moral dalam setiap dongeng untuk menjadi pelajaran berharga bagi anak. Dengan gaya bahasa singkat, penuh makna dan tanpa kesan menggurui, penulis berupaya mengarahkan anak untuk memilih melakukan tindakan baik dan menghindari perbuatan buruk. Setelah membaca buku ini, dengan sendirinya anak-anak akan memahami konsekuensi dari setiap tindakan baik maupun buruk yang dipilihnya.
Banyak sekali keunggulan yang terkandung dalam buku ini. Di antaranya penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah diterima oleh anak-anak. Sampul buku dibuat dengan warna yang cerah, segar dengan ilustrasi menarik sehingga membuat anak tertarik untuk membacanya.
Hampir setiap kisah dalam buku ini dituturkan hanya sepanjang empat sampai lima halaman. Hal ini dilakukan penulis dengan tujuan agar anak-anak tidak mudah bosan dan lebih mudah menangkap isi cerita.
Hebatnya lagi, semua gambar ilustrasi dalam buku ini merupakan sumbangan karya asli anak-anak dari beberapa negara yang namanya tercantum di sudut bagian bawah gambar. Membuat buku ini menjadi sangat menarik sehingga anak-anak akan merasa senang saat membacanya.
Namun tidak ada gading yang tak retak. Di luar berbagai kelebihan dalam buku ini, tidak luput pula dari kekurangan meski tak sampai mengganggu. Ukuran gambar ilustrasi berukuran seragam dengan tata letak selalu berada di atas judul cerita, terasa monoton. Gambar terkesan sekadar tempelan sebagai pelengkap dan bukan menjadi satu kesatuan (united) dari keseluruhan cerita.
Terlebih pada dua dongeng panjang berjudul “Orin dan Berhati Emas” (8 halaman) dan “Pangeran Sudhana dan Putri Manohara (10 halaman). Bagi anak-anak, membaca cerita cukup panjang tanpa selingan melihat gambar tentu membosankan. Alangkah lebih menyenangkan jika gambar dapat lebih diperkaya sehingga setiap halaman yang dibaca, anak-anak akan selalu menemukannya, misalnya dengan teknik gambar mengambang di bawah teks cerita.
Untungnya, kekurangan kecil tersebut mampu dibayar lunas oleh penulisnya dengan usaha revitalisasi yang brilian. Sehingga dongeng sepanjang sepuluh halaman pun tetap terasa ciamik untuk dinikmati.
Setelah membaca dongeng-dongeng dalam buku ini, anak-anak akan dapat membedakan mana perbuatan baik yang harus mereka contoh dan perbuatan buruk yang harus mereka hindari. Sebab, di dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana akibat yang ditimbulkan dari setiap perbuatan baik dan buruk yang dilakukan.
Jadi, usaha Mutia Masugi untuk membantu para orang tua dalam mendidik anak tanpa adanya kesan memaksa dan menggurui, layak diberi apresiasi tinggi-tinggi.***