.
YOGYA (PM)- Warga Daerah IstimewaYogyakarta (DIY) yang menolak kewajiban vaksin Covid-19 tanpa alasan medis dan abai pada protokol Kesehatan (prokes), semakin sempit ruang geraknya. Sebab warga yang menolak vaksin tersebut telah bersikap egois dan asosial serta tidak memiliki rasa tanggungjawab terhadap kesehatan sesama warga negara.
Guna memastikan pelaksanaan vaksin telah dilaksanakan dengan baik Pemda DIY menuangkan dalam Perda Penanggulangan Covid-19. Dengan diterbitkannya Perda tersebut, Pemda DIY memiliki payung hukum dalam penerapan sanksi. Sebab saat masih dalam bentuk Peraturan Gubernur (pergub), Pemda tidak bisa menerapkan sanksi. "Sesuai Pasal 27 dalam Perda tersebut, sejumlah sanksi disiapkan bagi pelanggar protokol kesehatan (Prokes), termasuk bagi warga yang menolak menerima vaksinasi Covid-19.
"Jadi orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran vaksin tapi tidak mau mengikuti program tersebut akan dikenakan sanksi administratif. Adapun bentuk sanksinya bisa berupa denda administratif maupun penundaan atau penghentian pemberian bantuan sosial (Bansos),"kata Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Drs K Baskara Aji di Kompleks Kepatihan, Rabu (16/2).
Seperti diketahui bersama dalam Perda Penanggulangan Covid-19 pada Pasal 27 terdapat 2 butir sanksi penolak vaksin. Huruf a berupa penundaan atau penghentian bantuan sosial. Sedangkan huruf b berupa sanksi administratif kepada warga terdaftar yang menolak vaksin Covid-19.Hanya saja vaksin tidak bersifat wajib untuk warga tertentu. Dalam Pasal 26 ayat (2) dikecualikan bagi warga tidak memenuhi kriteria penerima Vaksin. Untuk Pasal 26 ayat (3) warga terkecuali wajib melampirkan surat keterangan dari pelayanan kesehatan atau dokter.
Baca juga: Wakil Bupati Sleman Menjadi Nara Sumber Webinar Pendidikan Politik Bagi Milenial
Baskara Aji menjelaskan, penerapan sanksi, bersifat degradasi. Artinya sanksi final dalam Pasal 27 Perda Penanggulangan Covid-19 Pemda DIY berlaku apabila warga abai atas peringatan. Hingga akhirnya ditetapkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
"Jadi ada pasal sanksi dalam Perda itu semata-mata untuk penegakan. Sehingga orang secara sukarela atau tanpa paksaan mau mengikuti vaksinasi dan menjaga prokes. Jadi intinya lebih pada itu,"terang Baskara Aji.
Akselerasi Vaksin
Sementara, Lonjakan kasus Covid-19 di DIY tidak hanya berdampak pada ketersediaan tempat isolasi terpadu (Isoter), tapi juga berdampak pada terbatasnya ketersediaan reagen untuk pemeriksaan PCR S-Gene Target Failure (SGTF) dan Whole Genome Sequencing (WGS). Hal ini dikarenakan banyaknya kasus yang harus dites, sehingga kelangkaan terjadi di pasaran. Jadi tidak hanya terjadi di DIY tapi bersifat nasional.
"Seiring dengan lonjakan kasus harian Covid-19 ketersediaan reagen untuk SGTF dan WGS di pasaran mulai terbatas (langka). Keterbatasan itu terjadi, karena banyak yang membutuhkan, sehingga permintaan di pasaran jadi meningkat. Adapun untuk reagen untuk tes PCR biasa relatif tidak ada masalah karena masih tergolong mudah di pasaran,"kata Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie di Yogyakarta, Rabu (16/2).
Pembajun mengatakan,pemerintah dalam hal ini Kemenkes mengeluarkan surat edaran bahwa positif tes antigen dianggap sama dengan hasil positif PCR. Jadi hasil positif antigen sudah dianggap sebagai probable positif Covid-19. Sehingga intervensi yang dilakukan sama seperti pasien positif Omicron. Berbeda dengan sebelumnya ketika positif antigen belum dianggap sebagai positif Covid-19 sehingga masih harus melakukan pemeriksaan tes PCR. Meskipun Covid-19 varian Omicron cepat menyebar dan perlu diwaspadai, varian Delta juga masih mengancam.
"Menyikapi kondisi saat ini kami minta agar protokol kesehatan diperkuat dan akselerasi vaksin terus digenjot, mengingat masih adanya orang yang belum divaksin.Jangan lupa Delltanya masih ada, berapa hari lalu masih 17 persen,"ujarnya.***s