Keseimbangan alam menjadi isu besar yang melandasi fashion designer dalam berkarya. Aplikasi dari konsep dasar itu, setiap busana yang dihasilkan mesti berkelanjutan (sustainable), bebas sampah (zero waste) dan tentu saja ramah lingkungan.
Deretan karya rancang busana semacam itu banyak terlihat --kalau tak bisa dikatakan mendominasi-- dalam event AIRA Fashion on the Spot 2021 di Atrium Hartono Mall Yogyakarta, awal Desember lalu. Salah satu penampil dalam pergelaran ini, Astrid Ediati pun serasa mendapatkan panggung yang tepat.
Perancang busana asal Klaten tersebut, sejak lama telah mengaplikasikan spirit sustainable dan zero waste pada setiap karya yang dihasilkan. Selain itu, pemanfaatan wastra nusantara sebagai materi utama busana, merupakan pilihan awal ibu dua anak itu sejak pertama kali memproklamirkan diri sebagai perancang busana pada hampir dua dasawarsa silam.
Ketika industri kain lurik yang tersentra di wilayah Pedan, Klaten, masih dijalankan dengan sangat sederhana, Astrid Ediati berusaha memaksimalkan produk Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) tersebut. "Waktu itu serat kain masih sangat sederhana. Motif dan warna yang dibuat oleh para perajin pun cenderung monoton," ucap Astrid Ediati ketika ditemui di rumah yang sekaligus jadi studio kerjanya.
Kala itu kain lurik nyaris belum dilirik para perancang. Selain dirinya, ada satu desainer ibukota, yakni Poppy Dharsono, yang banyak berperan aktif menyadarkan para perajin tentang pentingnya mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan keragaman motif lurik di Pedan.
Tentu butuh kesabaran dan ketelatenan, mengingat sebelumnya para perajin, utamanya para pengelola usaha ATBM, hanya terbiasa menghasilkan kain lurik 'tradisional'.
Seiring berjalannya waktu, kini lurik Pedan telah berkembang. Bahkan sentra industri lurik di Klaten pun meluas ke Tlingsing.
Kain lurik selalu menjadi pilihan para desainer yang berkomitmen memoncerkan wastra nusantara. Faktanya, kain lurik memang sangat fleksibel, bisa dipadupadankan dengan wastra lainnya.
Dalam AIRA Fashion on the Spot 2021, Astrid Ediati menyodorkan empat koleksi terbaru yang dibalut dalam tema 'Selaras'. Terinspirasi dari alam sekitar, ia menonjolkan kain lurik ATBM dari serat alam, begitupun dengan teknik pewarnaannya. Konsep bebas sampah teraplikasi lewat teknik cuttinglurus. Kalaupun ada perca tersisa, dibuat aksesoris pelengkap penampilan.
"Semua terkonsep, termasuk padupadan busana, bisa mix and match. Tren busana sekarang tidak hanya untuk saat ini, tetapi harus berkelanjutan, bisa dipakai kapan pun untuk berbagai kesempatan," kata pemilik label Britha yang juga lulusan PAPMI Fashion School Yogyakarta tahun 2004 tersebut.
Belakangan Astrid Ediati tengah merancang rebranding baju-baju berbasis bahan etnik (wastra) lewat 'Semburate'. Sesuai filosofinya yang bermakna 'Seni, Etnik, Membudaya, Unik dan Trending', karya-karya yang dihasilkan Semburate nantinya tidak hanya mengakomodasi kain lurik, namun mengaplikasikan wastra nusantara lainnya.
Dalam upaya pengembangan wastra nusantara ini Astrid Ediati mendapat dukungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) provinsi Jawa Tengah, berupa tenaga magang digital marketing. Harapannya, bisa semakin mengeksplorasi wastra Indonesia, sehingga masyarakat akan semakin memahami betapa kayanya kita dengan kain tradisional yang aplikatif.
PATMA-Istimewa. Astrid Ediati dalam pergelaran AIRA Fashion on the Spot 2021.