.
Essy Masita (kiri) dan Putri Shabrina (tengah) saat tampil di AIRA Fashion on the Spot. (PM-Istimewa)
KHASANAH kain etnik (wastra) yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara, begitu mempesona. Menggoda tangan-tangan kreatif untuk mengolahnya menjadi aneka produk kerajinan, di antaranya busana.
Hampir setiap daerah di Indonesia, dengan kultur yang beragam, memiliki kain etniknya masing-masing. Adakalanya teknik pembuatan sama, atau memiliki kemiripan, namun unsur pembeda biasanya terdapat pada motif. Juga pemanfaatannya.
Di daerah tertentu, dengan latar belakang budaya yang khas, selembar kain acapkali bukan sekadar benda fungsional. Atau keindahan yang tertuang hanya layak sebagai materi karya seni. Sebab, seringkali kain tersebut merupakan simbolisasi dalam pencitraan kaidah moral, atau pelengkap upacara tradisi yang bahkan disakralkan.
Keragaman kain etnik yang ada di Indonesia, belakangan semakin berdaya pikat. Utamanya bagi para perancang busana yang sejak awal menilai untaian wastra Nusantara merupakan harta terpendam yang patut untuk terus digali dan dikembangkan. Kekayaan corak dan motif, serta warna-warna yang spesifik, seolah memberi tantangan baru kepada para desainer untuk mengolahnya. Faktanya, belakangan kian banyak fashion designer yang menekuni bahan-bahan wastra.
Baca juga:Astrid Ediati Mengeksplorasi Wastra
Essy Masita salah satunya. Perancang busana senior dari Yogyakarta ini menilai, kekayaan wastra yang terhampar di seantero Nusantara adalah anugerah yang mesti dikembangkan dan dilestarikan. Melalui sederet karya rancang busana bertajuk 'Romansa Nusantara', setidaknya Essy Masita telah menunjukkan upayanya.
Ia mencoba mengangkat motif Tifa Honai, yang menggambarkan filosofi rumah khas Papua yang sarat kebahagiaan. Juga motif khas Kalimantan yang menggambarkan kecantikan gadis suku Dayak. Juga motif-motif kain yang menggambar tempat peribadatan di Bali (Pura), keunikan Rumah Gadang di Sumatera Barat, serta kemegahan Candi Borobudur di Magelang (Jawa Tengah).
"Untuk busana-busana rancangan terbaru, saya memanfaatkan wastra dari berbagai etnik di Indonesia," kata aktivis Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia (APPMI) Yogyakarta tersebut.
Dalam presentasi bersama pada event AIRA Fashio on the Spot di Hartono Mall Yogyakarta beberapa waktu lalu, Essy Masita yang berkolaborasi dengan puterinya, Putri Shabrina, meluncurkan serangkaian karya wearable yang diperuntukkan bagi mereka (laki-laki maupun perempuan) yang senantiasa berjiwa muda. Aplikasinya berupa baju-baju kasual yang fleksibel penggunaannya.
Kolaborasi dengan Putri Shabrina merupakan pijakan awal dalam upaya Essy Masita melakukan rebranding. Untuk karya-karya yang bersifat mass product ini, Essy memberi label 'Aluna'. Untuk membedakan dengan produk Maharani Persada yang lebih fokus pada layanan customer.
Yang pasti, kolaborasi ibu dan anak ini menggaungkan spirit 'Wear Ethnic, Stay Stylish'. Berbusana etnika selalu tetap bergaya. Untuk membedakan dengan karya perancang lain yang juga menekuni wastra, Essy memberi pengecualian pada teknik pengerjaan. "Satu ciri dari koleksi Aluna, yakni adanya detail hand made sulam Sashiko bada busana," tegasnya.***s